Manifesto Kebudayaan

Taufiq Ismail adalah salah satu tokoh yang ikut merintis Manifes Kebudayaan.

Manifes Kebudayaan (ejaan Republik: Manifes Kebudajaan) atau Manifesto Kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang mengusung humanisme universal[1] yang diformulasikan pada masa Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk respon dari teror-teror dalam ranah kebudayaan yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).[2]

Manifes Kebudayaan muncul diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk, Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.[3]

Oleh orang-orang Lekra, Manifes Kebudayaan sering diringkas dan diplesetkan menjadi Manikebu, yang artinya "sperma kerbau".[4][5]

Sejarah

Naskah Manifes Kebudayaan selesai dikerjakan oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963 pada pukul 04.00WIB. Kemudian naskah tersebut dapat diterima oleh Goenawan Mohamad dan Bokor Hutasuhut sebagai bahan yang akan diajukan ke diskusi pada 23 Agustus 1963 di Jalan Raden Saleh 19, Jakarta. Setelah disetujui, naskah tersebut kemudian diperbanyak dan disebarkan kepada beberapa kalangan seniman untuk dipelajari terlebih dahulu sebagai landasan ideologi.[6]

Dengan bertempat di Jalan Raden Saleh 19 Jakarta, pada tanggal 23 Agustus tepat pukul 11.00WIB diadakan rapat untuk membahas Manifes kebudayaan. Rapat ini dihadiri oleh tiga belas orang yang terdiri dari kalangan seniman dan budayawan. Ketiga belas orang tersebut adalah H.B Jassin, Trisno Sumandjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Sjahwil, dan Djufri Tanissan.[6]

Kemudian sidang panitia perumus yang berakhir pada pukul 02.30WIB memutuskan bahwa Manifestasi Kebudayaan dibagi dalam tiga bagian. Ketiga bagian itu dijabarkan menjadi Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila. Hasil rumusan ini akan dibawa ke dalam sidang lengkap yang akan diadakan pada 24 Agustus 1963.[7]

Pada tanggal 24 Agustus 1963 diadakan sidang pengesahan Manifes Kebudayaan dengan pimpinan sidang Goenawan Mohamad dan sekretaris Bokor Hutasuhut. Sidang ini dilaksanakan di Jalan Raden Saleh 19 Jakarta dan dimulai pada pukul 13.00WIB. Atas nama panitia, Bokor Hutasuhut melaporkan hasil kerja panitia perumus yang telah menetapkan Manifes Kebudayaan terdiri dari tiga bagian yaitu Manifes Kebudayaan, Penjelasan Manifes Kebudayaan, dan Literatur Pancasila. Secara aklamasi panitia menetapkan hasil sidang yaitu Manifes Kebudayaan tidak bisa diubah lagi dan Manifes Kebudayaan tidak apriori melahirkan organisasi kebudayaan. Kemudian, Manifes Kebudayaan ini dipublikasikan lewat surat kabar Berita Republik dalam ruang “Forum” Sastra dan Budaya No.1, Th I, 19 Oktober 1963 dan majalah Sastra No. 9/10, Th III,1963.[7]

Presiden Sukarno yang condong kepada pendapat Lekra, akhirnya melarang kelompok Manifes Kebudayaan; ia menyebutnya sebagai "Manifesto Kebudayaan", dengan demikian dapat dianggap bermuatan politik yang tidak sesuai dengan Manipol USDEK.[4]

Naskah Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963[8]

Lihat juga

Bacaan

  • (Indonesia) Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965 - Bagaimana Orde Baru melegitimasi anti-komunisme melaui sastra dan film. Marjin Kiri. ISBN 978-979-1260-26-8

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ D. S. Moeljanto dan Taufiq Ismail 1995, hlm. 157.
  2. ^ K. S. 2007, hlm. 140.
  3. ^ K. S. 2007, hlm. 141.
  4. ^ a b Dhakidae, Daniel (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-0309-7. 
  5. ^ Setiawan 2003, hlm. 178.
  6. ^ a b D. S. Moeljanto dan Taufiq Ismail 1995, hlm. 151.
  7. ^ a b D. S. Moeljanto dan Taufiq Ismail 1995, hlm. 159.
  8. ^ D. S. Moeljanto dan Taufiq Ismail 1995, hlm. 160.

Daftar pustaka

  • D. S. Moeljanto dan Taufiq Ismail (1995). Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. Bandung: Mizan. 
  • K. S., Yudiono, ed. (2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.  Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Setiawan, Hersri, ed. (2003). Kamus Gestok. Yogyakarta: Galang Press.